Naskah Drama Senyum Karyamin di Sadur dari Cerpen Ahmat Tohari
SENYUM
KARYAMIN
Oleh
Cholifah Vildha F.
Disadur
dari cerpen Ahmat Tohari
SINOPSIS
BERCERITA TENTANG SEORANG LELAKIPENGANGKAT BATU KALI
YANG BERNAMA KARYAMIN. KARYAMIN DAN KAWAN-KAWANNYA SETIAP HARI HARUS MENGANGKAT
BATU DARI SUNGAI KE PANGKALAN MATERIAL. KEHIDUPAN KARYAMIN DAN KAWAN-KAWANNYA
TAK JAUH DARI KEMISKINAN DAN KELAPARAN. PARA PENGUMPUL BATU ITU SENANG MENCARI
HIBURAN DENGAN MENERTAWAKAN DIRI MEREKA SENDIRI. ITU ADALAH CARA MEREKA UNTUK
MENGHIBUR DIRINYA DALAM BERTAHAN HIDUP.
PAGI
ITU SEPERTI BIASA KARYAMIN MENGANGKUT BATU BERSAMA KAWAN-KAWANNYA. NAMUN
BEBERAPA KALI IA TERGELINCIR. IA MERASAKAN MATANYA BERKUNANG-KUNANG DAN
PERUTNYA MELILIT. SETIAP KALI TUBUH KARYAMIN MELUNCUR DAN JATUH TERDUDUK,
BEBERAPA KAWANNYA TERBAHAK BERSAMA. KETIKA BIBIR KARYAMIN NYARIS MEMBIRU DAN
PENING DI KEPALANYA SEMAKIN MENGHEBAT MENAHAN RASA LAPAR YANG MENGGIGIT,
KARYAMIN MEMUTUSKAN UNTUK PULANG WALAUPUN IA TAHU TAK ADA APAPUN UNTUK MENGUSIR
SUARA KERUYUK DARI LAMBUNGNYA. KEGETIRAN KARYAMIN SEMAKIN MENJADI KETIKA SESAMPAINYA
DI RUMAH PAK PAMONG MENAGIH SUMBANGAN DANA AFRIKA UNTUK MENOLONG ORANG-ORANG
YANG KELAPARAN DI SANA. LALU, KARYAMIN MEMBALASNYA
DENGAN SENYUMAN. TIBA-TIBA IA TERHUYUNG DAN JATUH KE LEMBAH.
FISICAL
DESCRIPTION
KARYAMIN :
pekerja keras, pantang menyerah, sabar.
SARJI :
berotak mesum, iri terhadap istri Karyamin.
SAIDAH : penjual nasi
pecel, baik hati, mempunyai rasa iba yang
mendalam.
ISTRI KARYAMIN :
muda, gemuk (penilaian secara analitik)
PAK PAMONG :
tegas, tidak peka
4 atau 5 TEMAN KARYAMIN : berotak mesum, senang
melihat penderitaan
orang lain, suka menghasut orang lain
PANGGUNG DIBAGI MENJADI 3 BAGIAN. PANGGUNG II suasana di dekat sungai, tanjakan yang terjal dan licin karena dibasahi air yang
menetes dari tubuh pengumpul batu,dengan suara gemercikan air sungai yang
mengalun dengan konstannya. Terlihat beberapa orang pengumpul batu kali,salah
satunya Karyamin yang sedang memikul dua keranjang batu kali hendak dibawanya ke
pangkalan material di atas sana.
Karyamin :(melangkah pelan dengan sangat hati-hati,
mengatur nafas dan ayunan tangannya agar tak oleng, dan menahan beban
dipundaknya yang memikul dua keranjang batu kali) “Aaarrgghhhhhhh......
keepaaaaa....raatttttttttt...” (karyamin
tergelincir untuk kedua kalinya dan tubuhnya rubuh, menggelinding ke bawah,
berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya.)
Teman-teman
Karyamin :(tertawa terbahak-bahak) “ahahaha ahaaaahahaaa.... Minnn Minnnn itu
mata di pake dongg... masa daritadi jatuh terus...” (kembali tertawa)
(Karyamin terbangun saat tubuhnya tak
kembali menggelinding dan memungut kembali batu-
batu yang berserakan dan melanjutkan
pendakiannya dengan merayap, wajah tegang,
keringat yang terus mengucur dari celana
dan tubuhnya basah, dan nadi di lehernya
menyembul karena berat beban yang
dipikulnya. Tiba-tiba seekor Burung
Paruh Udang
terjun dari ranting pohon dan menyambar
seekor ikan kecil,lalu melesat tanpa dosa ke arah
Karyamin, yang hanya kurang sejengkal di
depan mata Karyamin )
Karyamin :
“Bangsaatttttttt....... gara-gara Burung Paruh Udang itu, aku terjatuh lagi. (hilang keseimbangan dan tubuhnya bergulir
sejenak, lalu jatuh tertunduk seiring dengan suara dua keranjang batu yang
meruah. Tubuh yang meluncur, dengan sigap tangannya berhasil mencengkeram
rerumputan.)
Teman-teman
Karyamin :
“Huahahahahhahaahahhaa... (tertawa
bersama-sama dengan mulut yang begitu lebar)
Sarji :
“Sudahlah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu masih tertinggal di rumah, sehingga kamu
loyo terus,” (dengan suara yang nyaring
dan nada menggoda Karyamin untuk pulang ke rumahnya)
(karyamin duduk termenung dan membalas
teman-temannya dengan senyuman)
Teman
1 :
“Memang bahaya meninggalkan seorang istri di rumah. Min, kamu ingat anak-anak
muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat
menagih setoran kepada istrimu. Jangan percaya kepada anak-anak muda penjual
duit itu. Pulanglah. Istrimu pasti kini sedang digodanya.” (memanas-manasi karyamin yang dihasutnya untuk pulang)
Teman
2 :
“Istrimu tidak hanya menarik mata petugas harian bank itu. Jangan dilupa tukang
edar kupon buntut itu. Ku dengar ia juga sering ke rumahmu bila kamu sedang
keluar. Apa kamu juga percaya bahwa dia hanya menjual kupon buntut? Jangan-jangan
dia menjual buntutnya sendiri!” (diselingi
tawa yang menandakan kemenangan)
(suara gelak tawa kembali terdengar riuh
diiringi bunyi benturan batu-batu yang terlempar
ke tepi sungai. Terlihat tiga
wanita pulang dari pasar dan hendak menyebrang.
Lalu, para pencari batu terdiam, untuk
menyaksikan wanita-wanita itu mengangkat kainnya
tinggi-tinggi)
Teman
3 :
“widiiihhh brooo... lihat itu para wanita itu!! (kegirangan sambil menunjuk ke arah wanita-wanita yang hendak
menyebrang)
Teman
4 :
“wahhhh... seger sekali pemandangan di sana!! (melihat dengan mata tak berkedip dan mulu menganga, begitu juga
teman-temannya yang lain)
(kawan-kawannya berceloteh akan wanita
itu, Karyamin masih duduk termenung sambil
memandang kedua keranjang yang
berantakan dan hampa. lalu Burung Paruh Udang itu kembali
melintas di atas kepalanya, ingin sekali
ia menyumpahinya)
Karyamin : keparattt..
kenapa Burung ini masih saja berkeliaran di atas kepalaku (dalam hatinya menghujat, tiba-tiba rongga matanya penuh bintang, gendang
telinga yang terasa ada sarang lebahnya) “kruuukkkkk.... kruukkkk...
kruuukkk..” (terdengar suara kerunyuk
dari lambungnya yang hanya berisi hawa dan mata Karyamin menangkap semuanya
menjadi kuning berbinar)
Sarji :
“hehhh min !!! apa kau tak mau melihat
ikan putih-putih sebesar paha?? (teriak
menoleh ke arah Karyamin yang sedang duduk termenung)
(mereka kembali tertawa,untuk menghibur
dirinya di penatnya bekerja, Karyamin
Membalasnya dengan senyuman, tak ikut
tertawa)
karyamin :(bangkit dari duduknya dengan kepala pening
dan langit yang seakan berputar, mengambil keranjang dan pikulannya, lalu
berjalan menaiki tanjakan) “hemmmmmm ...” (menghela nafas dan berhenti, sejenak melihat tumpukan batu yang
mencapai seperempat kubik tetapi ia tinggalkan)
(Di bawah pohon Waru, Saidah sedang
menggelar dagangannya, nasi pecel)
Saidah : “masih
pagi kok mau pulang, Min?” (tanya Saidah
dengan heran) “sakit, Min??” (tanyanya
lagi)
(Karyamin menggeleng dan tersenyum,
Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan
Kedua telapak tangannya yang pucat.
Karyamin berjalan semakin dekat ke arah Saidah)
Karyamin :
“kruuuuukkkkkkkk......” (terdengar suara
perut Karyamin)
Saidah : “Makan,
Min?” (tanyanya kembali)
Karyamin : “Tidak, beri
aku minum saja. Dagangnmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah
utang.” (dengan nada yang pelan dan lemah)
Saidah : “Iya.
Min, iyaa.. tetapi kamu laparkan??” (bertanya
kembali dengan rasa yang iba)
(karyamin hanya tersenyum sambil
menerima gelas air yang disodorkan oleh Saidah)
Saidah : (menatap sedih Karyamin) “makan, ya Min?
Aku tak tahan melihat orang yang lapar. Tak usah bayar dulu. Kau sabar menunggu
tengkulak datang. Batumu juga belum dibayar, kan?” (dengan nada merayu, agar Karyamin mau makan nasi pecel yang ia jual)
(Si Paruh Udang kembali melintas cepat
dengan suara mencecet di atas kepala Karyamin)
Saidah : “jadi,
kamu sungguh tak mau makan, Min?” (tanya
Saidah ketika melihat Karyamin bangkit)
Karyamin
: “Tidak.
Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu
habis karena utang-utangku dan kawan-kawan.” (jawabnya dengan suara lemah)
Saidah : “Iya, Min
iya. Tetapi ....” (tanyanya dengan ragu
dan memutus kata-katanya karena Karyamin telah menjauh)
(Karyamin menoleh ke Saidah sambil
tersenyum, Saidah membalasnya dengan tersenyum
dan menelan ludah berulang-ulang.
Teman-teman
Karyamin : “heiii, Min..... (memanggil Karyamin yang berjalan melalui
lorong liar sepanjang tepi sungai)
Karyamin
:(Karyamin menangkap sesuatu) “ohhhh..
Si Paruh Udang ternyata. (melihat ke
atas, terlihat Burung yang melintas kembali di sekitaran sungai)
( Burung itu memiliki punggung biru yang
mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya
merah saga, terbang dan menukik
menyambar ikan kepala timah dan terdengarlah air
berkecipak. Lalu, Karyamin tersenyum
sambil melihat dua keranjang yang kosong)
Karyami : (dalam perjalanannya karyamin bergejolak ketika ingin
pulang) “Mengapa aku pulang ?” (ujarnya)
“aah tak palah semalam tadi istriku tak bisa tidur karena bisul di pucuk
pantatya. Maka apa salahnya aku pulang untuk menemani istriku” (meyakinkan dirinya apa tujuan ia pulang)
(Karyamin mencoba berjalan secepat mungkin)
karyamin : ngiinngggggg.....
(telinganya berdenging, ketika menempuh
tanjakan, tetapi ia tersenyum kembali karena dibalik tenjakan itu, ialah
rumahnya.)
(selesai mendaki tanjakan, Karyamin mendadak berhenti
dan melihat dua sepeda jengki
di parkir di halaman rumahnya)
Karyamin : ngiiinggggg...
ngiiingggg.. ngiiiinnggg... (denging
dalam telinganya kembali terdengar banyak) “sungguh malang nasib istriku
yang sedang sakit dan masih harus menghadapi tagihan oleh bank harian itu, ia
tak ada uang untuk membayarnya. (ia
kembali berjalan menuju rumahnya, merasa kasihan akan kondisi istrinya.
Meskipun tak bisa membayarnya namun setidaknya bisa membantu istrinya yang
sedang sakit di tagih oleh bank harian)
(pelan-pelan Karyamin membalikkan badannya, siap
kembali turun. Namun, ia melihat di
Bawah sana seorang lelaki dengan baju batik motif
ungu,berlengan panjang, dan kopiah
yang mulai botak kemerahan)
Karyamin : “siapa lelaki
itu?? Sepertinya itu bukan petugas bank harian yang selalu menagih. (lamat-lamat ia menatap kembali laki-laki
itu) “Ohh itu, Pak Pamong. Penagih dana untuk Afrika itu.
(lalu Pak Pamong menghampiri Karyamin yang berdiri
terpaku)
Pak Pamong : “Nah, akhirnya
kamu ketemu juga, Min. Ku cari kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak
ada. Kamu mau menghindar, ya?” (dengan
nada tegas dan mata mendelik)
Karyamin : “menghindar?” (tanyanya dengan heran)
Pak Pamong : “ya, kamu memang mbeling, Min. Di gerumbul ini hanya kamu
yang belum beradaptasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana
untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir.
Aku tak mau lebih lama kau persulit
Pak Pamong : “heiii.. kenapa
kamu tersenyum?? Kamu tidak menghargai aku?? (dengan nada yang jengkel dan marah ke Karyamin) “kamu menghina
aku, Min? (menyentak)
Karyamin : “Tidak, Pak.
Sungguh tidak.” (wajah memelas)
Pak Pamong : “kalau tidak
mengapa kamu tersenyum-senyum? Hayoooo.. cepattt mana uang iuranmu??” (menarik tangan Karyamin)
Karyamin : “hahahahahahahah
huaahahhahaa... (tawa dengan kerasnya,
lalu, masuklah seribu lebah ke telinganya, seribu kunang-kunang masuk ke
matanya, lambungnya yang berguncang-guncang. Tubuhnya oleng)
Pak Pamong : “eeehhhhh Min
!!!! Minnnnn
!! (tergupuh, berusaha memegang tubuh Karyamin yang terguling ke lembah, namun
gagal........)
***
Komentar
Posting Komentar